Minggu, 08 Februari 2015

Pendendam


Cepat atau lambat akan kubalas, karena aku pendendam. Jika orng-orang tidak suka, atau beberapa diantaranya mencoba menenangkanku, sesungguhnya mereka tak dapat menjamin insafku. Karena pendedam menunggu amarahnya matang. Dan ketika masanya dipetik, dia sendiri tak dapat menahannya.

Semua cerita tentang pengampunan kuketahui, lalu kulakoni amalannya, namun tumpukan rasa sakit menghapusnya kembali.  Aku pendendam, menari-nari di bawah selangkangan, diiring lirih senandung kenistaan. Terkurung di antara hitam dan putih, bersama bayang kutukan yang mengerikan.


Memang busuklah pendendam. Aku tumpukan tipu muslihat. Aku bersembunyi dalam semak, lalu tiba saatnya melakukan penyergapan.

Siapa pembelaku? Mereka yang sama sepertiku. Kami senantiasa mengadakan perjamuan besar,  jika seseorang telah membayar hutang dendamnya. Kami meminum kepuasan dari mangkok yang sama. Membaginya pada orang per orang dalam pola lingkaran teratur. Mereka ada padaku, aku pada mereka.

Ini benih dari kami, meski bukan milik kami. Kejahatan berbuah pembalasan, lalu pembalasan itu menjadi pembalasan baru. Kami bagikan, meski kami tak tahu. Kepada setiap ahli waris prahara. Siapa yang dapat lari darinya?

Akhirnya, Dunia milik para pendendam. Benarlah apa yang kulakukan, sebab dendam telah menjadi kebenaran. Jangan salahkan aku.

Wahai Pendendam, kasihan nian engkau! catatan-catatan menfikanmu, lalu tersayat sekujur tubuhmu, tapi tak dapat engkau beranjak. Seribu kali engkau bangkit, sebanyak itu pula kau tersandung. Kelam bola matamu. Sujudmu, pertobatan yang menimbun kejahatan. Pertolonganmu, keikhlasan tak berakar.

Oleh: C. Tefbana