Cepat atau lambat
akan kubalas, karena aku pendendam. Jika orng-orang tidak suka, atau beberapa
diantaranya mencoba menenangkanku, sesungguhnya mereka tak dapat menjamin
insafku. Karena pendedam menunggu amarahnya matang. Dan ketika masanya dipetik,
dia sendiri tak dapat menahannya.
Semua cerita tentang
pengampunan kuketahui, lalu kulakoni amalannya, namun tumpukan rasa sakit
menghapusnya kembali. Aku pendendam,
menari-nari di bawah selangkangan, diiring lirih senandung kenistaan. Terkurung
di antara hitam dan putih, bersama bayang kutukan yang mengerikan.
Memang busuklah
pendendam. Aku tumpukan tipu muslihat. Aku bersembunyi dalam semak, lalu tiba
saatnya melakukan penyergapan.
Siapa pembelaku?
Mereka yang sama sepertiku. Kami senantiasa mengadakan perjamuan besar, jika seseorang telah membayar hutang
dendamnya. Kami meminum kepuasan dari mangkok yang sama. Membaginya pada orang
per orang dalam pola lingkaran teratur. Mereka ada padaku, aku pada mereka.
Ini benih dari kami,
meski bukan milik kami. Kejahatan berbuah pembalasan, lalu pembalasan itu
menjadi pembalasan baru. Kami bagikan, meski kami tak tahu. Kepada setiap ahli
waris prahara. Siapa yang dapat lari darinya?
Akhirnya, Dunia
milik para pendendam. Benarlah apa yang kulakukan, sebab dendam telah menjadi
kebenaran. Jangan salahkan aku.
Wahai Pendendam,
kasihan nian engkau! catatan-catatan menfikanmu, lalu tersayat sekujur tubuhmu,
tapi tak dapat engkau beranjak. Seribu kali engkau bangkit, sebanyak itu pula
kau tersandung. Kelam bola matamu. Sujudmu, pertobatan yang menimbun kejahatan.
Pertolonganmu, keikhlasan tak berakar.
Oleh: C. Tefbana