Minggu, 28 Juli 2013

Pesan dari Ngarai Ayunan



Selamat datang Kawan, di Ngarai Ayunan. Ada sedikit cerita tentang ngarai ini. Tolonglah, setelah meninggalkan tempat ini,  sampaikan ke tiap-tiap orang  yang Engkau jumpai. Barangkali ada yang peduli. Bukan yang pura-pura peduli.

Pada masa lalu Ngarai Ayunan adalah ngarai yang permai. Pada setiap sudutnya berbaris  pegunungan nan rapi, serta wangi karena semerbak anggrek liar.  Ada seruling pusaka di tempat ini yang diwariskan turun temurun. Seruling alam yang membangunkan penduduk ngarai setiap pagi dan berkhasiat memberikan ketenangan jiwa. Ada pula Enggang keramat yang kini entah kemana? Konon Sang Enggang punya banyak anak karena makanan yang melimpah. Sang Enggang memiliki  suara yang keras serta  parau, hingga mampu membangunkan semangat penduduk yang sedang mengolah sawah dan ladang.


Sangat indah bukan? Bahkan sangat menggiurkan. Hingga akhirnya datanglah suatu masa yang menjadikan ngarai ini ayunan. Memang tidak terliat mata telanjang, hanya dapat diterawang. Pada ujung barat dan timur ngarai, berdiri dua buah menara setinggi menara babel, padanya diikatkan tali ayunan.

Wahai kawan, apa enaknya menjadi ayunan? Jika pada masa terjajah orang-orang menderita namun tahu harus melawan siapa.Tetapi pada Ngarai Ayunan penduduk tidak tahu harus kemana, seperti berada di tengah kerumunan debat kusir yang bodoh. Ada yang berteriak “lepaskan milikmu untuk pembangunan”, lalu yang lain berteriak “pertahankan”. Sungguh kami tidak tau apa yang mereka bicarakan.

Ini masalah jiwa yang terombang ambing Kawan! Pada saat yang satu kami terayun ke kiri, lalu pada saat yang lain kami terayun ke kanan.   Terasa tidak nyaman. Seperti ada yang menindih, entah bokong siapa?

Sampaikan cerita ini, karena betapa menyakitkan menjadi ayunan. Terayun akan membuat kami putus. Pusaka kami mungkin tak dapat kembali utuh karena arus peradaban, tetapi tolong kembalikan jiwa kami yang merdeka. Apalah arti yang ada di sekitar kami jika jiwa kami hancur. Sebaliknya jika jiwa kami kuat menerima, tiadalah hal yang akan membuat kami berduka.

Yang perlu menjadi catatan bahwa sebelumnya kami tak pernah meminta apa pun, kami pun tidak tahu tentang ilmu pelestarian alam, kami hanya berusaha hidup dengan keluhuran kami, untuk menjadi manusia yang sebaik-baiknya.

Oleh: C. Tefbana