Selamat datang Kawan, di Ngarai
Ayunan. Ada sedikit cerita tentang
ngarai ini. Tolonglah, setelah meninggalkan tempat ini, sampaikan ke tiap-tiap orang yang Engkau jumpai. Barangkali ada yang
peduli. Bukan yang pura-pura peduli.
Pada masa lalu Ngarai Ayunan adalah
ngarai yang permai. Pada setiap sudutnya berbaris pegunungan nan rapi, serta wangi karena
semerbak anggrek liar. Ada seruling
pusaka di tempat ini yang diwariskan turun temurun. Seruling alam yang
membangunkan penduduk ngarai setiap pagi dan berkhasiat memberikan ketenangan
jiwa. Ada pula Enggang keramat yang kini entah kemana? Konon Sang Enggang punya
banyak anak karena makanan yang melimpah. Sang Enggang memiliki suara yang keras serta parau, hingga mampu membangunkan semangat penduduk yang
sedang mengolah sawah dan ladang.
Sangat indah bukan? Bahkan sangat
menggiurkan. Hingga akhirnya datanglah suatu masa yang menjadikan ngarai ini
ayunan. Memang tidak terliat mata telanjang, hanya dapat diterawang. Pada ujung
barat dan timur ngarai, berdiri dua buah menara setinggi menara babel, padanya
diikatkan tali ayunan.
Wahai kawan, apa enaknya menjadi
ayunan? Jika pada masa terjajah orang-orang menderita namun tahu harus melawan
siapa.Tetapi pada Ngarai Ayunan penduduk tidak tahu harus kemana, seperti
berada di tengah kerumunan debat kusir yang bodoh. Ada yang berteriak “lepaskan
milikmu untuk pembangunan”, lalu yang lain berteriak “pertahankan”. Sungguh
kami tidak tau apa yang mereka bicarakan.
Ini masalah jiwa yang terombang
ambing Kawan! Pada saat yang satu kami terayun ke kiri, lalu pada saat yang
lain kami terayun ke kanan. Terasa
tidak nyaman. Seperti ada yang menindih, entah bokong siapa?
Sampaikan cerita ini, karena betapa
menyakitkan menjadi ayunan. Terayun akan membuat kami putus. Pusaka kami
mungkin tak dapat kembali utuh karena arus peradaban, tetapi tolong kembalikan
jiwa kami yang merdeka. Apalah arti yang ada di sekitar kami jika jiwa kami
hancur. Sebaliknya jika jiwa kami kuat menerima, tiadalah hal yang akan membuat
kami berduka.
Yang perlu menjadi catatan bahwa
sebelumnya kami tak pernah meminta apa pun, kami pun tidak tahu tentang ilmu pelestarian
alam, kami hanya berusaha hidup dengan keluhuran kami, untuk menjadi manusia
yang sebaik-baiknya.
Oleh: C. Tefbana