Alkisah Panglima lebah pulang
dari perjalanan panjang lalu menghadap ratunya. “Yang Mulia Ratuku, telah
kulaksanakan perintahmu, mencari kebijaksanaan pada perkampungan manusia.
Tetapi sungguh tak satu pun kudapati manusia yang dapat mengajarkannya kepadaku.
Ketika keluar dari hutan, aku segera
munuju ke istana, karena pikirku di sanalah dapat kutemui orang-orang bijak,
sebab di sanalah para pemimpin manusia berkumpul. Lalu pada suatu hari, dalam
suatu perayaan besar di alun-alun, aku hinggap pada piala raja, berharap
mendengarkan perbincangan para pejabat, barangkali dapat kuambil beberapa
hikmat. Tetapi apa yang kulihat, masing-masing pejabat mendekat pada rajanya
lalu bergiliran menjilat pantat sang raja. Kemudian Sang raja sembari sedikit menggelinjang berkata, “damailah
negeri, Oh negeri.” Sungguh itu lebih
telihat seperti nafsu syahwat ketimbang
sebuah kebenaran . Dan aku tak dapat bertahan lama melihat kejijikan itu. Aku
terbang menghindari istana.
Ah, barangkali dapat kutemui
kebijaksanaan bukan dari para pejabat istana. Lalu aku pergi kepada orang-orang pintar yang katanya memilih
untuk diam, mungkin mereka lebih dapat memperlihatkan artinya kebenaran. Aku
hinggap pada punggung satu di antara mereka. Tetapi dari lubang pori-pori yang
tepat menuju ulu hatinya, aku mendengar suara gemuruh yang sangat dasyat,
seperti gemuruh air terjun yang besar. Sungguh itu adalah gemuruh dendam dan
iri dengki yang tinggal menunggu waktu untuk meledak.
Kemudian aku pergi ke kalangan
rakyat, aku mencoba menuju ke pasar-pasar, ke lingkungan-lingkungan kumuh, lalu
ke perkampungan-perkampungan kecil. Astaga, udara di bagian-bagian ini pengap
oleh caci maki rakyat kepada pejabat, tak seperti prajurit lebah yang
senantiasa patuh pada ratunya. Bagaimana di sini ada kebijaksanaan sementara
yang satu mengutuk yang lainnya.
Terakhir kali ya Ratuku, ketika kumasuki
hutan ini, aku mencoba singgah pada
seorang petapa di bukit sebelah. Aku mencermati apa yang dilakukannya. Yang
Mulia Ratuku dari pertapa ini pun tak kutemui yang kucari. Karena kulihat ia
lebih cendrung menduakan Tuhannya.
Itulah perjalananku Tuanku,
dapatlah Engkau memenggal kepalaku karena tugasmu untukku tak kutemukan. Tak kudapati
manusia yang bisa mengajarkan kebijaksanaan kepadaku. “ Ratu lebah mengibaskan
sayapnya sebentar lalu berkata. “Bijaklah engkau sekarang wahai Panglima,
karena sesungguhnya telah kau miliki kebijaksaan itu dan telah kaudapatkan
pencarianmu. Sebab dari manusia yang jahat telah kautemui mana yang benar dan
mana yang salah, Engkau telah dapat membedakannya. Lagipula dapatkah kita menemukan
tumpukan kebaikan yang lebih besar dari kejahatan, di dunia yang memang
dipenuhi banyak cobaan. Kini kembalilah
bekerja dengan kebijakan yang Kau miliki.” “Baik Ratuku.” Jawab Sang Panglima
seraya meninggalkan Ratunya.
Oleh: C. Tefbana