Rabu, 15 Januari 2014

Panglima Lebah

Alkisah Panglima lebah pulang dari perjalanan panjang lalu menghadap ratunya. “Yang Mulia Ratuku, telah kulaksanakan perintahmu, mencari kebijaksanaan pada perkampungan manusia. Tetapi sungguh tak satu pun kudapati manusia yang dapat mengajarkannya kepadaku.  Ketika keluar dari hutan, aku segera munuju ke istana, karena pikirku di sanalah dapat kutemui orang-orang bijak, sebab di sanalah para pemimpin manusia berkumpul. Lalu pada suatu hari, dalam suatu perayaan besar di alun-alun, aku hinggap pada piala raja, berharap mendengarkan perbincangan para pejabat, barangkali dapat kuambil beberapa hikmat. Tetapi apa yang kulihat, masing-masing pejabat mendekat pada rajanya lalu bergiliran menjilat pantat sang raja. Kemudian Sang raja sembari  sedikit menggelinjang berkata, “damailah negeri, Oh negeri.”  Sungguh itu lebih telihat seperti  nafsu syahwat ketimbang sebuah kebenaran . Dan aku tak dapat bertahan lama melihat kejijikan itu. Aku terbang menghindari  istana. 


Ah, barangkali dapat kutemui kebijaksanaan bukan dari para pejabat istana. Lalu aku pergi kepada   orang-orang pintar yang katanya memilih untuk diam, mungkin mereka lebih dapat memperlihatkan artinya kebenaran. Aku hinggap pada punggung satu di antara mereka. Tetapi dari lubang pori-pori yang tepat menuju ulu hatinya, aku mendengar suara gemuruh yang sangat dasyat, seperti gemuruh air terjun yang besar. Sungguh itu adalah gemuruh dendam dan iri dengki yang tinggal menunggu waktu untuk meledak. 

Kemudian aku pergi ke kalangan rakyat, aku mencoba menuju ke pasar-pasar, ke lingkungan-lingkungan kumuh, lalu ke perkampungan-perkampungan kecil. Astaga, udara di bagian-bagian ini pengap oleh caci maki rakyat kepada pejabat, tak seperti prajurit lebah yang senantiasa patuh pada ratunya. Bagaimana di sini ada kebijaksanaan sementara yang satu mengutuk yang lainnya. 

Terakhir kali ya Ratuku, ketika kumasuki hutan ini,  aku mencoba singgah pada seorang petapa di bukit sebelah. Aku mencermati apa yang dilakukannya. Yang Mulia Ratuku dari pertapa ini pun tak kutemui yang kucari. Karena kulihat ia lebih cendrung menduakan Tuhannya. 

Itulah perjalananku Tuanku, dapatlah Engkau memenggal kepalaku karena tugasmu untukku tak kutemukan. Tak kudapati manusia yang bisa mengajarkan kebijaksanaan kepadaku. “ Ratu lebah mengibaskan sayapnya sebentar lalu berkata. “Bijaklah engkau sekarang wahai Panglima, karena sesungguhnya telah kau miliki kebijaksaan itu dan telah kaudapatkan pencarianmu. Sebab dari manusia yang jahat telah kautemui mana yang benar dan mana yang salah, Engkau telah dapat membedakannya. Lagipula dapatkah kita menemukan tumpukan kebaikan yang lebih besar dari kejahatan, di dunia yang memang dipenuhi banyak cobaan.  Kini kembalilah bekerja dengan kebijakan yang Kau miliki.” “Baik Ratuku.” Jawab Sang Panglima seraya meninggalkan Ratunya.

Oleh: C. Tefbana